Perebutan Kursi di Negeri dari Barat, Dari Tanah yang Selalu Mengulang Dusta yang Sama




Penulis cerita novel fiksi: Sari, Ani dan Indri

Di Negeri dari Barat, tanah yang dikelilingi angin laut dan sejarah yang lebih asin dari air pasang, setiap lima tahun sekali rakyat menyaksikan sebuah upacara purba. Lebih licin dari janji kampanye, lebih tua dari beringin keramat Kerajaan, dan lebih sering diulang daripada rapat yang selalu “ditunda sampai ditemukan waktu yang tepat”.

Upacara itu disebut orang-orang dengan sebutan Pemilihan Penjaga Kursi Kerajaan,
sebuah ritual yang menentukan siapa yang pantas menduduki kursi yang lebih panas dari bara neraka, dan lebih berbahaya dari kebenaran yang lama dipasung.

Di Negeri dari Barat, aturan ditulis dengan tinta emas, dibacakan dengan suara para pendeta hukum, tetapi dipatuhi sebagai hiasan museum kekuasaan.

Kitab Netralitas nomor 5/2014: disuarakan seperti azan, tapi diperlakukan seperti angin malam yang dibiarkan lewat begitu saja.

Surat Meritokrasi 11/2017: dibacakan seperti mantra agung, tapi lenyap ketika keputusan harus diambil.

Piagam Transparansi 15/2019: jernih seperti air mata bayi, tetapi tetap tidak boleh diminum rakyat.

Kitab Objektivitas 26/2019: objektif seperti mata air gunung, namun sungai yang mengalir selalu menuju rumah-rumah tertentu.

Aturan-aturan itu disimpan rapi dalam Laci Agung Sang Panitia Kerajaan, laci yang hanya dibuka bila penyair, jurnalis, dan pencari fakta datang mengintip. Setelah itu, laci kembali dikunci dengan cepat, seperti aib keluarga ningrat.

Para Pansel Kerajaan duduk berbaris.
Wajah mereka seperti topeng yang dipakai turun-temurun.
Senyum profesional, mata tajam, hati membaca arah angin.

Ketika rakyat bertanya perihal titipan, mereka menjawab dengan kalimat yang diwariskan sejak masa penjajahan:

“Titipan tidak ada di negeri ini.”

Dan rakyat tersenyum pahit, karena di Negeri dari Barat, yang tidak ada justru keberanian untuk mengaku ada.

Mereka membawa berkas seperti sesajen,
prestasi seperti dupa,
dan harapan seperti benang tipis yang siap putus bila disentuh kekuasaan.

Dan berikutlah para calon Penjaga Kursi,
nama-nama mereka diubah oleh rakyat menjadi nama alegoris
nama yang tidak memalukan siapa pun,
tetapi cukup pedas untuk membuat Kerajaan berkeringat dingin.

DAFTAR CALON PENJAGA KURSI KERAJAAN

Sebagaimana Dibacakan Dalam Balairung Rembulan, 9 Saka Tahun Gelombang Bulan Terang ke-25

I. Kursi Agung Kesatuan Negeri dan Politik Istana

Adapun nama calon yaitu:

Tuan As dari Devka

Nyonya Berlian

Sir Than dari Ip Klap

II. Kursi Angkutan Kerajaan dan Rumah-Rumah Rakyat
Adapun nama calon yaitu:

Puteri Sekawan Eng Baru

Jus War dari kesebelasan

Oli Sang Perancang Badai

III. Kursi Perbendaharaan Investasi dan Gerbang Pelayanan Istana
Adapun nama calon yaitu:

Madam Bertahan Seruni Emas

Irsal Mir Mantri Tiga Gelar

Sirat Sang Penjaga Lautan Api

IV. Kursi Penjaga Lingkungan dan Nafas Negeri
Adapun nama calon yaitu:

Berjaya Tuan Seribu Dua

Rusip Serban Hitam

Tulis Sang Arsitek Tanah

V. Kursi Suara Kerajaan dan Menara Informasi
Adapun nama calon yaitu:

Bercahaya dari Suku Seribu Dua

Sekaput Sang Hakim

Romeo Sang Ekonom Langit



Setelah nama-nama dibacakan, balairung hening.
Yang bersinar berubah menjadi cahaya.
Yang kalah berubah menjadi kabut.
Yang tidak dipilih berubah menjadi gumam yang hidup di warung kopi dan lorong-lorong pasar.

Di Negeri dari Barat, rakyat tidak pernah marah keras.
Mereka hanya menghela napas panjang napas yang membawa asin laut, kelelahan, dan kebijaksanaan yang dipaksa tumbuh terlalu cepat.

Karena mereka tahu bahwa 
Kebenaran tidak mati. Ia hanya sering tidak diundang ke rapat kerajaan.

Tanah tempat aturan diperlakukan seperti kitab suci,
tapi dianggap pamflet ketika tak sesuai keinginan.

Tanah tempat Pansel menjunjung integritas,
sementara kunci integritas kadang berpindah tangan
di malam yang terlalu sepi untuk dicatat sejarah.

Tanah tempat kandidat berjuang seperti penyair mencari metafora,
namun kalah karena puisinya tidak sejalan dengan nada kekuasaan.

Tanah tempat rakyat menjadi penonton setia,
meski lakonnya selalu sama
meski aktornya berganti.

Jika kritik ini seperti pedang, itu karena pedangnya sudah tumpul oleh luka yang terlalu sering.

Jika prosa ini seperti doa penuh kemarahan, itu karena Negeri dari Barat terlalu lama hidup dari dusta yang berputar-putar seperti angin laut yang tak pernah pergi.

Negeri dari Barat bukanlah fiksi.
Ia adalah cermin.
Jika seseorang melihat dirinya di dalamnya,
itu bukan salah cermin
itu salah bayangan yang selama ini ia biarkan tumbuh.
Baca Juga
Baca Juga
Lebih baru Lebih lama