Penulis: Belva Al Akhab dan Tim
Kacung, Bangka Barat — Saat negara masih sibuk menyusun rencana, warga Desa Kacung dan Dusun Baginda memilih sibuk menyelamatkan nyawa. Minggu pagi, 14 Desember 2025, ruas jalan kabupaten yang menghubungkan kedua wilayah itu kembali diperbaiki bukan oleh proyek pemerintah, melainkan oleh gotong royong warga dengan dana swadaya. Tanpa kontraktor. Tanpa papan proyek. Tanpa janji.
Di tengah absennya kehadiran negara, masyarakat yang peduli, seorang pengusaha lokal bernama Acai, serta Kepala Desa Kacung mengambil alih peran yang semestinya dijalankan oleh kebijakan publik. Tanpa seremoni, tanpa baliho, tanpa pidato. Yang hadir hanya kerja, peluh, dan kesadaran kolektif bahwa keselamatan warga tidak bisa menunggu siklus anggaran.
Perbaikan darurat ini dilakukan pada Minggu pagi di ruas jalan kabupaten Desa Kacung–Dusun Baginda. Seluruh pendanaan berasal dari swadaya masyarakat yaitu uang pribadi, material seadanya, dan tenaga sukarela. Tujuannya sederhana namun mendesak agar jalan tetap bisa dilewati dan tidak terus menelan korban kecil yang tak pernah masuk laporan resmi.
Tak ada tender. Tak ada logo kementerian. Tak ada klaim keberhasilan. Yang ada hanya warga yang datang satu per satu, membawa pasir, sekop, dan tekad. Lubang ditutup, genangan dialirkan, permukaan diratakan cukup agar motor dan mobil bisa melintas tanpa mempertaruhkan nyawa.
Jalan itu menyerupai tubuh tua yang dibiarkan menua tanpa perawatan. Retak, berlubang, dan becek terutama saat hujan. Setiap lubang adalah potensi kecelakaan. Setiap genangan adalah ancaman. Namun pagi itu, suara cangkul menggantikan bunyi sirene peringatan yang tak pernah datang dari pemerintah.
Di tepi jalan, panci besar berisi makanan bersama mengepul. Bukan sekadar sarapan, melainkan simbol kuat bahwa ketika negara absen, solidaritas warga mengambil alih fungsi perlindungan sosial. Makanan dimasak bersama, dimakan bersama, dan mengikat kerja kolektif yang lahir bukan dari program, melainkan dari kebutuhan nyata.
Acai, pengusaha wiraswasta yang sehari-hari menggantungkan hidup dari usaha kecilnya, menyediakan logistik dan material. Ia tidak datang membawa klaim jasa atau atribut politik. Ia datang sebagai warga yang muak melihat jalan rusak terus dibiarkan.
“Saya turun langsung karena jalan di sini banyak berlubang dan sangat bahaya, terutama di musim hujan. Saya tidak terikat politik. Saya hanya warga yang peduli,” kata Acai.
Baginya, kepedulian tidak membutuhkan panggung. Ia cukup hadir.
“Kami bukan orang politik atau pemerintahan. Kami hanya membantu semampu kami. Tidak untuk pencitraan, tapi demi keselamatan warga,” tegasnya.
Kalimat itu terdengar terlalu polos bagi negara yang gemar merangkai jargon pembangunan. Namun di situlah ironi paling telanjang bahwa warga bekerja demi keselamatan, sementara negara bekerja demi laporan dan presentasi.
Bagi warga Kacung–Baginda, jalan ini bukan sekadar aspal. Ia adalah urat nadi ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Anak-anak berangkat sekolah melintasinya setiap hari. Warga membawa hasil kebun. Akses ke layanan dasar sepenuhnya bergantung pada ruas jalan ini.
Sebagai pelaku usaha kecil, Acai menyaksikan langsung dampaknya. Anak-anak sekolah terjatuh dari motor. Warga terpeleset saat hujan. Aktivitas ekonomi tersendat. Jalan rusak berarti risiko harian yang dipaksa menjadi kebiasaan.
Sementara itu, Kepala Desa Kacung tidak berdiri di podium atau balik meja. Ia berada di tengah lumpur, mengatur ritme kerja, menunjuk titik paling rusak dan memastikan warga bekerja dengan aman. Kepemimpinan di desa hadir bukan lewat tanda tangan basah, melainkan lewat peluh yang sama asin dengan peluh warganya.
Ironisnya, justru di level inilah negara paling terasa meski secara kewenangan, jalan tersebut adalah jalan kabupaten.
Secara administratif, perbaikan permanen jalan Kacung - Baginda merupakan tanggung jawab pemerintah kabupaten. Namun realitas di lapangan menunjukkan pola lama yang terus diulang bahwa warga menunggu, anggaran tak kunjung datang, dan waktu terus berjalan sambil memakan korban kecil yang tak pernah tercatat.
Swadaya memang menyelamatkan hari ini, tetapi sekaligus menggadaikan masa depan. Ketika peran negara dinormalisasi untuk digantikan oleh dana dan tenaga warga, di situlah alarm kebijakan berbunyi keras ada jurang lebar antara perencanaan dan realisasi pembangunan.
Desa Kacung bukan pengecualian.
Di Semarang, warga memperbaiki jalan rusak selama puluhan tahun karena kehilangan kepercayaan pada janji politik.
Di Pandeglang, warga patungan setelah aspirasi tak digubris.
Di Trenggalek, swadaya menjadi ritual tahunan.
Di Seluma, Bengkulu, lima desa menambal jalan provinsi sambil berharap diperhatikan.
Ini bukan kebetulan. Ini pola kebijakan yang dibiarkan.
“Kalau pemerintah kabupaten membaca ini, kami ingin satu hal: perhatikan jalan desa yang tidak berada di jalur utama. Kami butuh bukti nyata, bukan sekadar janji,” kata Acai.
Kalimat itu sederhana, namun menggugat inti pembangunan, apakah pembangunan hanya berlaku bagi wilayah yang mudah dilihat dan mudah difoto?
Ia juga mengungkapkan ketakutan paling nyata:
“Yang paling kami takutkan adalah kecelakaan. Terutama anak-anak sekolah dan keluarga yang ke kebun.” ungkap acai.
Ketakutan ini bukan paranoiad. Lubang-lubang besar di jalan kabupaten adalah statistik kecelakaan yang belum sempat ditulis.
Dalam satu kalimat, Acai merangkum seluruh situasi.
“Kalau pemerintah kurang perhatian, kami masyarakat desa akan menjaga keselamatan kami dengan gotong royong dan dana pribadi seadanya.” jelasnya dengan rangkuman.
Kalimat itu adalah pujian sekaligus tuduhan. Ia memuliakan solidaritas warga, sekaligus menelanjangi kelalaian kebijakan.
Hari itu, jalan Kacung–Baginda tidak hanya ditambal. Ia ditulis ulang dengan kalimat kerja, tanda baca keringat, dan paragraf solidaritas. Warga, Acai, dan Kepala Desa Kacung menunjukkan bahwa kepedulian bisa bekerja tanpa instruksi negara.
Namun laporan ini perlu ditutup dengan satu penegasan bahwa gotong royong adalah kebajikan budaya, bukan pengganti kebijakan publik.
Jika negara terus membiarkan warga menambal jalan dengan nurani, maka yang rusak bukan hanya aspal, tetapi kepercayaan. Ketika kepercayaan runtuh, tak ada anggaran sebesar apa pun yang cukup untuk menambalnya kembali.


