Penulis: Belva Al Akhab, Reza, Yudi, Kemis, Budi dan Joy
Pangkalpinang, Bangka Belitung — Di sebuah ruang rapat berpendingin udara yang tak pernah merasakan debu kebun, para pejabat dan kepala desa duduk berhadap-hadapan. Kertas-kertas tebal ditumpuk, data HGU terbentang, dan angka-angka mengambang di udara layaknya asap dupa dalam ritual panjang yang entah sejak kapan kehilangan maknanya.
DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, hari itu, kembali menggelar Rapat Dengar Pendapat. Kata “dengar” terdengar heroik, meski warga desa sudah hampir kehabisan suara untuk didengar. APDESI dan ABPEDNAS hadir membawa cerita lama yang terus diputar ulang tentang komitmen plasma yang lebih sering muncul di pamflet perusahaan daripada di kebun masyarakat tentang CSR yang lebih banyak berupa spanduk kegiatan ketimbang perubahan hidup nyata.
Di atas meja itu, angka-angka disulap menjadi ironi: 30 ribu hektare HGU, kewajiban plasma 20 persen, dan realisasi hanya 1.311 hektare setara 5,4 persen, angka yang bahkan di sekolah dasar sudah pasti masuk kategori “di bawah KKM”.
Ketua DPRD, Didit Srigusjaya, menyampaikan kalimat yang seharusnya bisa memecah udara:
“Ini sangat jauh dari kewajiban berdasarkan Permentan 98 Tahun 2013.”
Sangat jauh. Jauh sekali.
Tetapi jarak paling jauh dalam republik ini memang selalu berada antara aturan dan implementasi, antara janji dan realitas, antara masyarakat desa dan perusahaan yang menguasai peta.
Di desa-desa Bangka Barat, sore itu, matahari tidak hanya terbenam di balik pohon kelapa. Ia seolah tenggelam di balik harapan warga yang sudah menunggu bertahun-tahun kapan plasma itu benar-benar datang?
Di kampung-kampung kecil yang tumbuh mengelilingi kebun sawit industrial, plasma itu bukan sekadar istilah teknis. Ia adalah sebentuk imajinasi tentang keadilan sesuatu yang mereka bayangkan bisa mengangkat anak-anak ke sekolah, merekatkan dapur yang lama retak, atau mengurangi utang yang tak pernah selesai.
Tetapi keadilan itu tumbuh di atas kertas, tidak di tanah.
Ia hidup di rapat, mati di lapangan.
Di hadapan birokrasi, kebutuhan rakyat sering dibacakan sebagai “nota dinas”. Di hadapan perusahaan, plasma kadang dibaca sebagai opsi, bukan kewajiban. Dan di hadapan masyarakat, plasma telah menjadi legenda yaitu kisah turun-temurun tentang janji yang tak kunjung menetas.
Para kepala desa yang hadir di RDP itu tampak seperti saksi-saksi yang dipanggil untuk menceritakan kembali tragedi lama. Mereka mengungkapkan bahwa ketika warga tak punya lahan untuk dikonversi lewat mekanisme NOP, perusahaan bisa saja menggeleng. Aturan memang memungkinkan konversi, tetapi jalan menuju realisasi penuh lubang dan kabut.
Di banyak daerah lain, Ombudsman bahkan mencium bau maladministrasi dalam usulan menaikkan plasma menjadi 30 persen saat perpanjangan HGU. Tetapi di Bangka Barat, 20 persen saja sudah berubah menjadi dongeng paralel.
Aturan sudah jelas. Permentan 98/2013 sudah ada. Perda CSR pun sudah disahkan pada 2012.
Tetapi aturan hanya kuat ketika bertemu dengan kesadaran, bukan ketika berhadapan dengan kepentingan.
Usulan Panitia Kerja (panja) yang diserukan DPRD adalah sinyal bahwa kesabaran rakyat telah melampaui batas. Panja menjadi secercah cahaya apakah ia akan menjadi pisau yang membelah benang kusut, atau hanya lilin kecil dalam angin politik, waktu yang akan menjawab.
Dalam narasi satir negeri ini, panja bisa menjadi apa saja:
Bisa menjadi tangan yang menepuk pundak perusahaan sambil mengatakan “ayo kita benahi sama-sama”.
Atau menjadi kertas baru yang digulung dan ditaruh di tumpukan dokumen yang sudah berdebu.
Tetapi satu hal jelas:
Ketidakadilan plasma di Bangka Barat bukan sekadar pelanggaran aturan. Ia adalah pelanggaran rasa.
Ia menampar logika, menggerus kesabaran, dan mempermalukan janji pembangunan yang dibanggakan.
Ketika hutan telah dibuka, ketika tanah telah dicangkul dan ditanami perusahaan, ketika keuntungan telah mengalir ke gedung berlantai kaca masyarakat yang hidup di pinggir kebun masih menunggu pembagian hasil, hanya untuk mengetahui bahwa pembagian itu baru 5,4 persen.
Angka yang kecil itu telah berubah menjadi cermin yang besar, memperlihatkan bagaimana keadilan bisa dipreteli menjadi persen, koma, dan kemungkinan.
Dalam cermin itu, yang terlihat bukan warga desa yang lemah melainkan sistem yang membiarkan mereka dikecilkan.
RDP bukan lagi sekadar forum politik. Ia telah menjadi altar tempat rakyat mempersembahkan kegelisahan. Para kepala desa berdiri dengan akar yang masih menggenggam tanah, menatap para pembuat kebijakan yang memegang pena:
“Plasma itu bukan hadiah,” kata mereka dalam diam.
“Itu hak.”
Kini tinggal satu pertanyaan:
Apakah keadilan plasma akan tumbuh di tanah Bangka Barat?
Ataukah ia akan terus hidup hanya sebagai catatan rapat, statistik tahunan, dan janji lama yang terus diperbarui setiap pergantian pejabat?
Untuk saat ini, jawabannya masih berputar di udara seperti debu yang berterbangan di jalan kebun sawit ketika truk perusahaan melintas.
Daftar Sumber
Sumber Primer (dari wawancara, aspirasi lokal):
Pernyataan Ketua DPRD Kepulauan Bangka Belitung, Didit Srigusjaya, dalam Rapat Dengar Pendapat (24 Nov 2025) bersama APDESI dan ABPEDNAS Kabupaten Bangka Barat.
Data Hak Guna Usaha (HGU) sekitar 30.000 hektare milik enam perusahaan sawit (berdasarkan informasi BPN, sebagaimana disampaikan DPRD).
Sumber Literatur & Regulasi:
Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. (Hukumonline)
Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan.
Buku Acuan “Kredit / Pembiayaan Perkebunan dan Industri Kelapa Sawit” OJK, yang menyebutkan peraturan terkait plasma dan ISPO.
Artikel dan analisis terkait rencana alokasi plasma 30% dalam pembaruan HGU dan potensi maladministrasi (Ombudsman, Kementerian ATR/BPN). (Kompas Money)
Kritik terhadap Permentan 98/2013 yang dinilai “tidak berpihak pada masyarakat” jika mereka tidak punya lahan. (Hukumonline)
Studi kasus di provinsi lain (misalnya Riau) tentang banyak perusahaan sawit yang belum memenuhi kewajiban plasma 20%. (bgnnews.co.id)
Tags:
Berita


