Laporan Investigatif
Kelapa, Bangka Barat - Warga Kecamatan Kelapa kembali memprotes penggalian parit gajah oleh PT Bumi Permai Lestari (BPL), yang diduga dilakukan tanpa sosialisasi dan tanpa mempertimbangkan akses masyarakat ke kebun dan lahan garapan. Parit yang membentang di kawasan Desa Dendang, Ibul, hingga Terentang itu menjadi simbol keterpurukan warga dari tanah mereka sendiri, sekaligus memicu ketegangan antara masyarakat dan perusahaan sawit yang beroperasi di wilayah tersebut.
Keluhan warga semakin menguat setelah muncul laporan bahwa parit tersebut telah menutup akses jalan kebun, mengubah aliran air, dan berpotensi menyebabkan konflik agraria. Warga mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara aktivitas penggalian, membuka dokumen perizinan perusahaan, dan melakukan pengukuran ulang batas lahan oleh BPN dengan melibatkan masyarakat.
“Parit ini bukan cuma membelah tanah, tapi membelah hidup kami. Kebun terputus, jalan rusak, dan kami bahkan tidak diberitahu apa-apa,” kata Fahruddin, warga Dendang, Kamis (20/11/2025). Nama disamarkan demi keselamatan.
Warga menyampaikan bahwa parit gajah setinggi pinggang itu tidak hanya memotong jalur aktivitas ekonomi mereka, tetapi juga menimbulkan keresahan baru terkait potensi kriminalisasi lahan garapan tradisional.
Seorang warga Ibul menegaskan ketimpangan perlakuan hukum yang mereka rasakan:
“Kalau perusahaan gali tanah kami tanpa izin, kami diminta sabar. Tapi kalau kami lewat satu meter HGU mereka, kami dibilang melanggar. Keadilan apa namanya kalau cuma berjalan satu arah?”
Warga lain, Nuraini, mengungkapkan keresahan yang lebih politis:
“Kalau mereka punya izin, kenapa kami tidak punya hak untuk tahu? Jangan-jangan izin itu cuma berlaku untuk perusahaan, bukan untuk kami yang tinggal di tanah ini.”
Beberapa titik parit bahkan mengubah kontur jalan setapak yang biasa dipakai petani, membuat warga harus memutar jauh, kehilangan waktu, dan menanggung biaya tambahan untuk transportasi hasil panen. Warga menilai bahwa dampak sosial-ekonomi ini jauh lebih besar daripada apa yang terlihat di permukaan.
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama DPRD Bangka Barat, suara masyarakat menggelegar tetapi justru menggantung tanpa kepastian tindak lanjut. Warga mengaku bahwa janji pemerintah untuk meninjau ulang, memanggil perusahaan, atau melakukan survei lapangan sudah terlalu sering diucapkan, tetapi tidak pernah membuahkan perubahan konkret.
Bagi warga, ketidak gerakan pemerintah bukan lagi sekadar kelalaian administratif, tetapi bentuk kegagalan moral dan politik.
Excavator bekerja lebih cepat daripada negara.
Dan di Kelapa, itulah ironi paling telanjang.
Parit Gajah sebagai Peta Politik: Batas Lahan atau Batas Kesabaran Rakyat?
Penggalian parit gajah ini dianggap warga sebagai “peta politik yang digambar dengan belalai alat berat”. Bagi PT BPL, parit tersebut adalah penanda batas areal hak guna usaha. Namun bagi warga, itu adalah garis pembatas kehidupan sosial membatasi ruang gerak, akses usaha, dan bahkan martabat.
Secara ekologis, beberapa warga mencatat munculnya perubahan aliran air yang mulai menggenangi beberapa titik kebun. Parit yang terlalu dalam berpotensi menyebabkan erosi tebing tanah dan memutus drainase alami desa.
Dampaknya tidak hanya fisik, tetapi psikologis:
ketidakpastian, kecemasan akan kriminalisasi, dan ketakutan akan kehilangan tanah warisan keluarga.
Pemerintah daerah menyebut akan melakukan pengecekan, namun sampai laporan ini ditulis, warga menyatakan belum ada tindakan tegas:
tidak ada penghentian aktivitas, tidak ada investigasi mandiri, tidak ada dialog terbuka.
Yang paling cepat bergerak di Kelapa adalah excavator.
Yang paling lambat adalah keadilan.
Lambat bukan karena tidak mampu, kata warga.
Tapi karena tidak mau.
Desakan masyarakat kini mengerucut pada empat tuntutan utama:
Penghentian sementara proyek parit gajah.
Sosialisasi ulang dengan melibatkan seluruh warga terdampak.
Pengukuran ulang batas lahan oleh BPN secara terbuka.
Publikasi dokumen HGU dan izin perusahaan.
“Negara jangan cuma hadir di daftar undangan rapat. Kami butuh keadilan, bukan janji,” tegas Fahruddin.
Parit gajah bukan hanya infrastruktur. Ia adalah metafora politis:
simbol tentang siapa yang benar-benar berkuasa di pedesaan, perusahaan atau rakyat.
Ketika tanah digali tanpa dialog, yang tercabut bukan hanya akar pohon, tetapi akar kepercayaan warga terhadap negara.
Bila pemerintah masih memilih diam sementara mesin perusahaan terus bekerja, maka parit gajah itu tidak hanya akan tercatat sebagai batas lahan, tetapi sebagai batas kesabaran kolektif masyarakat Kelapa.
Dan ketika batas itu dilewati,
tidak ada negara yang cukup kuat untuk mengisinya kembali.
Tags:
Berita


