Jalan Sangku Nyaris Amblas, Respons Pemerintah Masih “Dipelajari”: Warga Menunggu, Alam Sudah Bekerja



Tempilang, Bangka BaratJalan lintas Desa Sangku menuju Buyan Kelumbi semakin mendekati titik kritis setelah badan jalan terlihat menggantung akibat tanah penopang yang terkikis deras oleh aliran air, Kamis (20/11/2025). Meski kondisi sudah mengancam mobilitas warga, hingga kini Pemerintah Kabupaten Bangka Barat belum melakukan penanganan darurat dan baru sebatas memberikan jawaban “dipelajari” sejak laporan pertama masuk setahun lalu.

Kerusakan berupa lubang besar di bawah badan jalan telah memperlihatkan rongga tanah yang kosong, membuat aspal seperti helai rambut tua yang menunggu tanggal. Warga memasang tanda bahaya seadanya menggunakan tongkat kayu, menggantikan peran sistem peringatan dini yang semestinya disediakan pemerintah.

Pemdes Sangku tercatat sudah melapor ke Dinas Pekerjaan Umum pada 18 Juli 2025. Pesan WhatsApp Kepala Desa kepada Kepala Dinas PU berisi permintaan sederhana:
mohon dicek, mohon ditindaklanjuti, ini jalan kabupaten, ini tanggung jawab Anda.

Jawabannya hanya satu kata: “dipelajari” 
sebuah istilah yang lebih sering berfungsi sebagai kamar tunggu tanpa batas waktu daripada langkah awal menyelesaikan masalah.

Hingga kini, tak ada kunjungan dinas, tak ada pengecekan teknis, tak ada tindakan fisik. Jalan rusak itu seolah menjadi catatan kaki dalam daftar prioritas pemerintah daerah.






Jika badan jalan amblas total, akses Desa Sangku menuju kawasan lain berpotensi terputus. Namun ancaman itu tampaknya belum cukup kuat untuk menggugah reaksi cepat pemerintah.

Sementara itu, air hujan bekerja tanpa menunggu anggaran perubahan, tanpa tanda tangan pejabat, dan tanpa rapat koordinasi. Air hanya mengikuti logika alam: mengalir, merembes, dan menggerus tanah yang seharusnya dilindungi oleh konstruksi gorong-gorong yang layak.

Kerusakan jalan ini bukan sekadar lubang.
Ia menjadi monumen kecil dari kelalaian besar, prasasti dari sistem yang lamban merespons persoalan yang tidak berplang proyek dan tidak berpotensi menjadi panggung seremoni.

Dalam narasi birokrasi, gorong-gorong mungkin tak memiliki nilai gimik. Ia tak menghadirkan kamera, tak menghasilkan tepuk tangan. Seperti banyak hal lain yang dianggap kecil, ia akhirnya dibiarkan menjadi besar oleh waktu.

Jika lubang itu bisa bicara, mungkin ia akan berbisik dengan getir:
“Banyak pejabat lewat, tapi tak satu pun yang benar-benar melihatku.”

Jika aliran air bisa menulis laporan, mungkin kalimatnya akan lebih lugas:
“Aku telah bekerja tanpa anggaran, tapi kalian bahkan tak datang memeriksa hasil pekerjaanku."

Di sebuah daerah yang semakin pandai menyusun visi dan misi, kerusakan kecil seperti inilah yang memperlihatkan betapa jauhnya jarak antara dokumen kebijakan dan kenyataan di lapangan.

Bukan curah hujan yang menjadi masalah utama.
Bukan usia gorong-gorong yang menjadi pangkal soal.
Bukan tanah yang mudah terkikis yang menjadi biang kerok.

Yang benar-benar rusak adalah kecepatan respons publik.
Yang amblas adalah prioritas kebijakan.
Yang berlubang adalah sistem pelayanan.

Warga kini berharap pemerintah tidak menunggu jalan itu benar-benar putus atau menelan korban. Karena biasanya, setelah kerusakan berubah menjadi headline nasional, barulah muncul kalimat-kalimat standar yang akrab di telinga:


Indah, rapi, namun datang terlambat  seperti pagar yang dipasang setelah ternak hilang.

Kerusakan jalan Sangku menuntut tindakan nyata, bukan kajian berkepanjangan.
Warga butuh kepastian, bukan penundaan.
Dan pemerintah daerah perlu belajar bergerak lebih cepat daripada bencana.

Sebelum jalan itu amblas.
Dan sebelum kepercayaan publik ikut amblas bersamanya.
Baca Juga
Baca Juga
Lebih baru Lebih lama