Ketika Tambang Laut Ilegal di Kranggan, Tembelok, dan Teluk Inggris Mengkhianati Hukum dan Perda


Mentok, Bangka Barat – Ombak membawa ironi ke Mentok: ponton-ponton rakus menggantikan perahu nelayan di Kranggan, Tembelok, dan Teluk Inggris. Laut yang dulu menjadi dapur, kini menjadi ladang tambang ilegal.
 
Hukum di Kertas, Lemah di Laut
 
Perda RZWP3K Babel No. 3/2020 tegas melarang tambang di zona perikanan tangkap. Namun, M. Hadi, seorang nelayan tua, berujar getir, "Cuma kuat di kertas, lemah di laut." Laut yang dulu ia panggil "ibu," kini dipaksa melahirkan pasir hitam.
 
UU No. 2/2025, yang seharusnya mengatur pertambangan, justru menjadi "dalih" baru. Hukum mengatur, tapi siapa yang menegakkan? Oknum menukar suara mesin dengan uang. Wartapublik.com (8/10/2025) melaporkan dugaan keterlibatan oknum dalam tambang ilegal di Keranggan.
 
Peta yang Ditenggelamkan
 
Peta RZWP3K Babel menetapkan Mentok-Keranggan-Teluk Inggris sebagai zona perikanan, alur pelayaran, dan konservasi mangrove. Namun, data SorotanBangka.com dan BabelNewsUpdate.com (16/9/2025) menunjukkan aktivitas ponton berlangsung hingga larut malam tanpa pengawasan. Nelayan terpaksa menjauh, lampu tambang berkerlip tanpa memberi arah.
 
Seorang ibu di Keranggan berkata, "Laut bukan lagi rumah kami, tapi halaman orang lain yang berpagar izin." UU 2/2025 menjamin manfaat ekonomi bagi masyarakat, namun yang tersisa justru perasaan ditinggalkan. Anak-anak nelayan lebih mengenal suara ponton daripada ombak. Air sumur mulai asin, tanah mengeras karena limbah.
 
Hukum yang Tak Mampu Tidur
 
Di Jakarta, pasal-pasal hukum berdiskusi dengan tenang. Namun, di Kranggan, hukum tak bisa tidur. Peraturan nasional dan daerah berseberangan tanpa tabrakan. Hukum seharusnya menjadi mercusuar, namun diredupkan oleh kabut tambang.
 
Seorang warga berkata, "Kami hanya ingin laut ini tetap bisa memberi makan anak kami." Kalimat ini menelanjangi jargon zero mining, green economy, dan sustainable development yang tenggelam di bawah suara mesin ponton.
 
Menambang Nurani
 
Negara telah berbicara lewat UU 2/2025 dan Perda RZWP3K. Namun, laut bergemuruh dalam bahasa yang tak dimengerti hukum. Rakyat terjepit di antara batu karang dan jaring tambang.
 
Andai dasar laut bisa bicara, mungkin ia akan berkata, "Aku tidak takut pada hukum, aku hanya takut pada diamnya manusia."
 
Hukum terlalu sibuk menulis pasal, lupa mendengar nelayan. Ponton adalah cermin bahwa kita sedang menambang nurani. Timah hanyalah logam, kerakusan menjadikannya kutukan.
 
Kranggan, Tembelok, dan Teluk Inggris adalah bab dalam kisah kehilangan. Laut keruh, pasir disedot, hukum terapung. Namun, harapan masih ada: pasal-pasal hukum menjadi pagar bagi kehidupan laut.
 
DAFTAR LITERATUR
 
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
- Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 3 Tahun 2020 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K)
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
- Wartapublik.com, “Tambang Ilegal di Laut Keranggan Kembali Beroperasi, Diduga Ada Oknum Bermain”, 8 Oktober 2025
- SorotanBangka.com, “Selain Tembelok, Aktivitas Tambang Timah di Teluk Inggris Juga Masih Berlangsung”, 16 September 2025
- BabelNewsUpdate.com, “Aktivitas Tambang Laut Teluk Inggris Masih Bebas Beroperasi di Malam Hari”, 16 September 2025
- PenaBabel.com, “Satu Hamparan dan Satu Zona: Keranggan Beraktivitas Jadi Sorotan, Sedangkan Teluk Inggris Melanjutkan Perjuangan Menambang Tanpa Henti”
- Mongabay Indonesia, “Diuji Komitmen Zero Tambang di Bangka Belitung”, 12 Maret 2023.(Laporan: Belvan Alakhab dan Tim) 
 
Baca Juga
Baca Juga
Lebih baru Lebih lama