Ketika Laut Masuk ke Rumah: Drama Setengah Meter yang Tak Pernah Selesai di Kampung Tanjung




Penulis: Belva Al Akhab dan Joy

MENTOK, BANGKA BARAT — Genangan banjir setinggi hampir setengah meter kembali merendam pemukiman padat di Kampung Tanjung, Kecamatan Mentok, pada Minggu (7/12/2025) pagi. Air bercampur sedimen berwarna cokelat susu itu naik cepat dari bibir laut, meluber ke lorong-lorong sempit lalu masuk ke rumah-rumah warga, memaksa aktivitas berhenti dan menambah panjang daftar banjir rutin yang tak kunjung berakhir.

Banjir dipicu hujan deras yang datang berbarengan dengan air pasang. Namun, menurut warga, penyebab paling krusial adalah rusaknya sistem drainase di kawasan pesisir tersebut. Saluran air yang sempit, dipenuhi lumpur, dan tak pernah dinormalisasi membuat air terperangkap dan menggenangi pemukiman dalam hitungan menit.

“Kalau hujan turun bersamaan dengan pasang, kami pasti tenggelam begini. Drainase kami sudah tersumbat. Warga sudah bersih-bersih, tapi ini bukan kerja satu kampung. Pemerintah harus turun tangan.” ujar Ibu Beni, Ketua RT setempat.

Warga menegaskan bahwa kebutuhan penting saat ini bukan paket bantuan sesaat, melainkan perbaikan total drainase, rekonstruksi saluran air, dan penyusunan mitigasi permanen banjir pesisir.

Kerugian ekonomi mulai dirasakan elektronik rusak, perabot mengambang, hingga aktivitas kerja dan sekolah yang terhenti. Meski tidak ada korban jiwa, warga menyebut banjir semakin cepat datang dan semakin tinggi setiap tahunnya.

Di sebuah gang sempit, seorang bocah berdiri di ambang pintu rumah panggungnya yang hampir terendam. Air yang terus naik membuatnya hanya bisa menatap tanpa banyak bicara seolah memahami bahwa untuk hari ini, dunianya dibatasi oleh garis air yang naik perlahan.

Dalam dokumentasi warga, dua perempuan tampak berdiri diam dalam air selutut. Tatapan mereka kosong, seperti sedang menghitung berapa banyak waktu yang telah mereka habiskan menghadapi banjir yang tak pernah berpihak pada siapa pun.

Pakaian basah menggantung di teras seperti bendera-bendera kecil tentang kepasrahan. Namun kampung ini tidak menyerah, kehidupan tetap berjalan, meski hampir seluruh halaman berubah menjadi kolam.

Di balik setiap genangan yang tampak tenang, tersembunyi cerita-cerita kecil yang jarang masuk laporan resmi.

Seorang ibu terlihat menggendong bayinya tinggi-tinggi ketika ia melintasi air yang merayap ke ruang tamu. Langkahnya pelan, tapi matanya tajam  memastikan air itu tak mengenai kulit bayi yang masih rentan.

Tak jauh dari sana, seorang lelaki tua memegang ember kosong. Ia tahu menimba tidak akan mengeringkan rumahnya, tetapi ia tetap melakukannya setidaknya agar lantai rumahnya tidak sepenuhnya menjadi kolam.

Di sudut lain, seorang anak membawa raket nyamuk, memukul-mukul udara tanpa semangat. Ia tahu banjir tidak hanya membawa air, tapi juga serangga yang datang seperti pesta yang tak pernah diinginkan.

Kampung Tanjung tumbuh dengan pemahaman bahwa banjir adalah semacam tamu lama kadang datang pelan, kadang mendadak, tapi tak pernah benar-benar diusir. Namun ketika air mulai masuk ke ruang tidur dan ruang tamu, suara warga berubah dari sekadar keluhan menjadi seruan kemanusiaan.

Mereka ingin kepastian bahwa kampung itu masih layak dihuni.

Warga menuntut Pemerintah Daerah Bangka Barat untuk:

Menormalisasi drainase secara menyeluruh

Membersihkan saluran dari sedimen dan sampah

Merekonstruksi sistem pembuangan air yang rusak

Menyusun mitigasi permanen untuk banjir pesisir

Bagi warga Kampung Tanjung, banjir bukan sekadar air menggenang. Ia adalah menit-menit kehidupan yang hilang, rencana yang tertunda, dan kecemasan yang tidak pernah benar-benar surut, bahkan setelah airnya pergi.
Baca Juga
Baca Juga
Lebih baru Lebih lama