Kelapa, Bangka Barat — Tanah berpasir menjadi saksi ketika puluhan warga duduk bersila di hadapan barisan aparat berseragam, Senin (27/10/2025). Di tengah panas matahari yang muram, para perempuan berkerudung dan lelaki kampung itu menatap tajam ke arah kantor PT Bukit Permai Lestari (BPL) Sinar Emas, perusahaan sawit yang telah 30 tahun menancapkan akarnya di Kecamatan Kelapa, Kabupaten Bangka Barat.
“Kami bukan mau rusuh. Kami cuma mau hidup. Kalau sawit tidak mau buka kerja, biarkan kami menambang di tanah sendiri!” teriak seorang warga dari tengah kerumunan, disambut sorak solidaritas para ibu yang menggenggam kertas tuntutan.
Di sisi lain, tiga perwira polisi berdiri tegak. Tatapan mereka kaku, tetapi di mata rakyat, itu seperti dinding antara mereka dan keadilan.
Aksi ini dipicu oleh konflik tumpang tindih antara Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk dan lahan perkebunan PT BPL Sinar Emas. Masyarakat Kelapa menuntut kejelasan hak menambang secara legal di kawasan yang disebut masih berada dalam IUP PT Timah.
“Apapun yang terjadi, kami ingin menambang secara legalitas di kawasan PT Timah. Kami tidak mencuri, kami hanya ingin makan dari tanah ini,” kata salah satu tokoh masyarakat dalam orasinya.
Menurut data Pusat Studi Konflik Agraria Indonesia (2025), sekitar 18.000 hektare lahan di Bangka Belitung, masih bermasalah akibat tumpang tindih izin antara sektor sawit dan tambang. Ironinya, pemerintah tahu, tetapi lebih sering menggelar rapat daripada turun ke lumpur.
Dari sorotan kamera warga yang merekam momen itu, terlihat seorang ibu berbaju merah muda menunduk, menggenggam surat tuntutan. “PT ini sudah 30 tahun berdiri, tapi plasma 20 persen untuk kami tak pernah ada. CSR-nya? Hanya parcel lebaran dan daging kurban, itu pun setahun dua kali!”
Padahal, Peraturan Menteri Pertanian No. 98 Tahun 2013 jelas menyebut, setiap perusahaan sawit wajib mengalokasikan 20% lahan untuk plasma masyarakat sekitar. Tapi hukum itu, bagi warga, hanyalah teks di atas kertas, bukan realita di kebun.
Pekerjaan pun tak kunjung terbuka. “Mereka bilang buka lowongan, tapi hanya untuk orang luar. Kami di sini hanya jadi penonton sawit yang tumbuh di atas tanah kami sendiri,” keluh seorang pemuda di tengah forum mediasi.
Di belakang barisan warga, aliran sungai yang dulu jernih kini berubah keruh, mengalir malas di antara batang sawit. Warga menuding perusahaan telah merusak aliran air demi pelebaran areal tanam.
“Kami menambang untuk kebutuhan desa. Tapi katanya kami perusak sungai. Padahal perusahaan yang menggali dan mengeringkan aliran air dibiarkan. Ini bukan keadilan, ini pemerasan nama lingkungan,” ujar seorang warga yang rambutnya memutih karena umur dan nasib.
Fakta ini dikuatkan oleh Laporan Lingkungan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2025 yang mencatat tingginya degradasi ekosistem sungai akibat aktivitas perkebunan besar di Bangka Barat. Namun sanksinya nihil. Rupanya, sungai hanya perlu bersih saat kamera pejabat datang.
Setelah aksi di lapangan, perwakilan masyarakat dipersilakan masuk ke ruang rapat perusahaan. Di sana, perbedaan kelas sosial tampak nyata: warga berkaus lusuh, duduk berhadapan dengan pria berhelm putih dan kemeja rapi. Di pojok ruangan, perwira kepolisian bersandar di kursi, sementara di meja, deretan air mineral dan kertas laporan menjadi simbol pertemuan yang dingin.
"Pihak perusahaan punya aturan main. Jika ada IUP PT Timah, kami jalankan sesuai izin dari PT Timah. Kalau bapak merasa benar, silakan tuntut ke pengadilan,” kata salah satu perwakilan perusahaan.
Jawaban itu bagai menutup pintu dengan besi. Warga terdiam, sebagian menghela napas, sebagian menatap kosong. Mereka tahu, ke pengadilan bukan jalan murah bagi perut yang lapar.
“CSR sudah berapa banyak selama 30 tahun? Kami tidak tahu. Mungkin sudah habis di meja rapat. Minyak goreng saja dikasih perusahaan masih harus bayar!” ujar warga lain dengan nada getir.
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Perekonomian 2025, kontribusi CSR sektor sawit di Bangka Belitung hanya 4,6% dari potensi keuntungan bersih jauh dari ketentuan sosial-ekonomi ideal di wilayah operasional.
Sementara itu, Ombudsman RI (2025) menegaskan bahwa lemahnya pengawasan terhadap kewajiban plasma dan CSR menjadi sumber utama ketimpangan ekonomi di daerah perkebunan. Tapi bagi warga, laporan-laporan itu seperti doa tanpa jawab: panjang, formal, dan tak pernah dikabulkan.
Konflik di Kelapa adalah potret kecil dari wajah besar ketimpangan sumber daya alam di Indonesia.
Di satu sisi, rakyat diikat oleh aturan yang menjerat. Di sisi lain, perusahaan meneguk keuntungan dengan restu legalitas. Aparat penegak hukum pun “serba salah”ketika rakyat bergerak, disebut anarkis, ketika perusahaan melanggar, disebut investasi.
Foto-foto dari lapangan menjadi bukti hidup:
- Foto pertama: menunjukkan warga duduk di tanah, menghadapi aparat polisi. Sebuah simbol ketimpangan posisi antara rakyat dan kekuasaan.
- Foto kedua: memperlihatkan keramaian di sekitar area tambang rakyat dan sawit, dengan latar sungai dan kebun yang rusak.
- Foto ketiga: memperlihatkan ruang pertemuan perusahaan, di mana rakyat berbicara tanpa mikrofon kepada mereka yang punya kuasa.
Semua gambar itu berbicara lebih jujur daripada konferensi pers manapun: bahwa rakyat Kelapa sedang berjuang bukan untuk kekayaan, tapi untuk sekadar kesempatan hidup yang adil.
Rakyat Kelapa mungkin duduk di tanah, tapi suara mereka kini menggema jauh lebih tinggi dari menara sawit. Karena di tanah inilah, mereka lahir, bekerja, dan menuntut hak yang tak pernah diberi oleh mereka yang katanya membawa kesejahteraan.
Referensi Online dan Literatur Hukum
- Senja Kala Tata Kelola Timah di Bangka Belitung (UBB, 2025)(https://repository.ubb.ac.id/id/eprint/11107/)
- Pertambangan Timah Inklusif dan Berkelanjutan di Belitung Timur (Jurnal UBB, 2025)(https://journal.ubb.ac.id/index.php/mineral/article/download/6933/2802)
- Siaran Pers Pemprov Babel: Gencar Selesaikan Tumpang Tindih Kawasan IUP (2020)(https://babelprov.go.id/siaran_pers/pemprov-babel-gencar-selesaikan-tumpang-tindih-penggunaan-kawasan-wilayah-izin-usaha-pertambangan)
- Peraturan Menteri Pertanian No. 98 Tahun 2013 & No. 26 Tahun 2007 tentang Plasma dan Kemitraan Sawit (JDIH Kementan)(https://peraturan.go.id)
- Laporan Lingkungan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 2025 (Badan Lingkungan Hidup Daerah Babel)(https://dlh.babelprov.go.id)
Sumber Primer: Dokumentasi aksi warga, pernyataan resmi PT BPL Sinar Emas, dan observasi lapangan di Kecamatan Kelapa, 17 Oktober 2025.
Sumber Pendukung: Kajian akademik UBB, laporan Ombudsman RI, dan literatur hukum pertambangan & perkebunan 2025.
Tags:
Berita


