Mentok, Bangka Barat — Tepat ketika matahari mulai menuruni garis laut di Desa Tempilang, Pantai Pasir Kuning menyimpan dua dengung yang berbeda: satu suara kerang yang terkikis, satu lagi denting ribuan ketupat yang dilepas di udara. Di sinilah adat dan alam berbicara melalui ritual, pelukan bakau, dan doa-doa di tepian laut.
Amang Keman, lelaki yang telah puluhan tahun dikenal sebagai dukun laut di Tempilang, memandang sunyi ke ombak. “Laut ini ibu,” katanya, “Kalau kita jaga, dia beri rezeki. Kalau kita lupa, dia bisa murka.” Ia membawa kami masuk ke ruang ritual, ke akar budaya yang nyaris tersembunyi di tengah derasnya perubahan pesisir, Minggu (26/10/2025)
Amang Keman menjelaskan bahwa nelayan di Tempilang tak hanya melempar jala, melainkan menjalankan sebuah aturan batas-tolak antara darat dan laut, antara manusia dan alam.
“Wilayah nelayan ada batasnya. Itu bukan aturan manusia, tapi aturan alam,” katanya.
Ia menunjuk jari ke langit lalu ke laut. “Jika batas itu dilanggar, laut akan murka.”
Literatur menguatkan: ritual tahunan Perang Ketupat Tempilang yang digelar di Pantai Pasir Kuning, dipahami sebagai “ritual tolak bala” dan wadah batas-batas sosial-ekologis masyarakat pesisir. Kajian semiotik menyebut upacara ini bukan sekadar hiburan, melainkan “representasi simbolik persatuan darat–laut, pengusiran ancaman, dan pemulihan harmoni kampung”.
Dalam kemasan adat yang ia pimpin, Amang Keman menyebut satu pantangan yang sering diabaikan:
“Jangan melempar ayam hidup ke laut. Ayam itu darahnya untuk tanah, bukan laut. Kalau dilanggar, alam sudah beri isyarat.”
Ketika ritual dilanggar, menurutnya, bukan mitos semata tetapi alarm kecil yang belum dipahami manusia. Alam berbicara lewat ombak yang tidak bersahabat, lewat makhluk yang muncul di tempat tak lazim. Ritual bukan tontonan, ia adalah peringatan
Amang Keman mencatat bahwa dalam rangkaian Perang Ketupat, ia secara rutin memimpin tahap Ngancak, prosesi malam yang pembuka ritual perang ketupat di rumahnya pada malam Nisfu Sya’ban. Ia bersama tetua adat memimpin doa dan sesaji, menandai kampung untuk tahun ke depan. Ia kemudian berada di barisan depan saat warga melempar ketupat di pagi ritual.
“Ketupat bukan sekadar makanan, tapi senjata salam,” ujarnya sambil memegang satu ketupat.
Catatan Antara News tahun 2007 menyebut: “Pesta adat perang ketupat, Desa Tempilang dilaksanakan sejak zaman penjajahan Portugis dengan peserta darat dan laut.” Kajian dari Universitas PGRI juga menguraikan nilai-nilai persaudaraan, solidaritas, dan ekologi dalam ritual ini.
Menanam Bakau, Menumbuhkan Harapan
Menjaga budaya saja tidak cukup jika alam yang menopang budaya itu mulai meranggas. Amang Keman menyapa anak-anak muda Tempilang untuk menanam bakau di tepi pantai yang mulai terkikis.
“Dulu banyak kepiting, udang, kerang. Sekarang hanya rumpun bakau yang tersisa. Kalau bakau tumbuh, laut punya penyangga… hidup kita juga tenang.”
Dalam reportase Mongabay, disebut bahwa mangrove di Bangka Belitung mengalami penurunan signifikan: dari 1104 hektar (2002), 928 hektar (2014), 964 hektar (2017) di beberapa stasiun penelitian. Analisis YKAN menyebut bahwa rehabilitasi mangrove bukan cukup perlindungan dan pengelolaan tetap harus diutamakan.
Saya menyusuri Pantai Pasir Kuning pada pagi berembun ketika ritual selesai. Ketupat yang berserakan di pasir dingin, perahu‐perahu nelayan berlalu-lalang, dan bakau yang setengah roboh disergap mata. Ada ketegangan halus bahwa warisan budaya besar sedang diuji keadaan alam yang rapuh.
Amang Keman berdiri di tepian, menatap cakrawala dengan linangan di mata. “Anak cucu kita harus tahu ini bukan hanya soal ketupat dan kemenyan. Ini soal para leluhur yang memberi batas agar kita tetap manusia.”
Penelitian budaya menunjukkan bahwa nilai-nilai yang tertanam dalam perang ketupat adalah: gotong-royong, persatuan darat-laut, dan kelembagaan sosial yang menghormati alam. Kini, ketika arus modernisasi dan kerusakan lingkungan semakin cepat, makna tersebut menjadi lebih mendesak.
Ketika pagi merekah, ritual selesai, namun pekerjaan sesungguhnya baru dimulai. Menanam bakau, menghidupkan adat sungai, berbicara dengan anak muda itu adalah langkah transformatif bagi masyarakat Tempilang. Amang Keman menyimpulkan:
“Kalau adat hidup, laut ikut hidup. Kalau adat mati, laut akan sunyi.”
Feature ini bukan hanya laporan tentang ritual dan alam, tetapi panggilan agar warisan budaya tidak menjadi museum yang sunyi, dan agar alam pesisir Tempilang tidak hanya dipakai sebagai latar tetapi dicintai sebagai rumah. Warisan budaya dan ekologi pesisir Tempilang berjalan beriringan, satu tidak bisa lestari tanpa yang lain.
Sumber Referensi
“Tradisi perang ketupat untuk menyambut Ramadhan digelar di Tempilang.” Antara News (28 Maret 2022). (ANTARA News)
“Jelang Ramadan, Masyarakat Bangka Barat Gelar Tradisi Perang Ketupat.” Detik.com (4 Maret 2024). (detikcom)
“Ritual Ngancak Perang Ketupat Tempilang.” Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kabupaten Bangka Barat (2025). (https://disbudpar.bangkabaratkab.go.id/)
“Kajian Semiotik Tradisi Perang Ketupat Di Desa Tempilang…” Jurnal Pembahsi, Universitas PGRI Palembang. (Jurnal Universitas PGRI Palembang)
“EKSISTENSI Upacara Adat Perang Ketupat …” Jurnal Ilmu Budaya, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. (Jurnal Universitas Lancang Kuning)
“Cerita Perawat Hutan Mangrove dari Belitung dan Sorong.” Mongabay Indonesia (29 Nov 2024). (Mongabay.co.id)
“Pelestarian Mangrove Lebih dari Sekadar Penanaman.” Yayasan Konservasi Alam Nusantara (2024). (Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN)
Tags:
Berita


