Ketakutan si Gagah: Malam Teror di Hutan Serindang

 

Oleh: Marhaen Wijayanto

Mentok, Bangka Barat – Sebuah pelajaran mahal harus diterima si Gagah atas kebiasaannya merundung (mem-bully) teman-temannya, terutama dengan menghina nama orang tua—sebuah tindakan yang jauh dari lelucon dan berujung pada pengkhianatan. Ditinggalkan sendirian di tengah hutan saat terlelap, kini Gagah si gajah kecil tak tahu jalan pulang, terperosok ke dalam teror mitos Hutan Serindang.

Jebakan Malam di Hutan Angker

Malam tiba dengan cepat di Serindang. Kabut tebal segera menyelimuti pepohonan, membawa serta udara dingin dan keheningan yang mencekam. Hutan ini terkenal angker; tak ada satwa yang berani melintas saat bulan purnama, konon karena sesuatu bernapas di balik kabut.

Gagah, berjalan sendirian di tepi sungai kering, merasakan keanehan itu. Sunyi. Tanpa suara jangkrik atau kodok, hanya desis angin yang berbisik. "Kenapa hutan ini terasa berbeda... sunyi sekali?" gumamnya, ingatannya menjalar mencari kawanan yang meninggalkannya.

Tiba-tiba, sesosok kelelawar hitam pekat melintas rendah. Matanya merah menyala. Menurut tetua, kelelawar itu membawa arwah gentayangan korban perburuan liar.

"Siapa kau?" tanya Gagah dengan suara berat.

Kelelawar itu menggantung di dahan, tersenyum aneh. "Aku Kelan, penjaga malam hutan ini. Kau tersesat, Gagah?"

Kelan segera mengunci Gagah dengan ancaman dingin: "Tidak ada pagi di Hutan Serindang. Apalagi untuk perundung semacam kamu." Kelan, menurut legenda, adalah pengendali arwah yang membuat perjanjian dengan roh gelap bawah tanah demi kekuatannya.

Pilihan antara Kegelapan dan Cahaya

Dalam keraguan, Gagah melihat sinar harapan. Seekor kupu-kupu biru yang indah melayang di hadapannya.

"Aku Rara, penuntun cahaya," kata kupu-kupu itu lembut. "Jangan ikuti Kelan. Ia bukan penjaga malam, tapi penjaga arwah. Hutan ini dihuni roh korban kecelakaan pesawat berpuluh tahun lalu, mereka mencari kawan. Kau bisa jadi korban berikutnya!"

Rara mendesak Gagah menuju sebuah pohon beringin tua sebagai tempat aman. Namun, sebelum sempat melangkah, Kelan muncul kembali, tertawa melengking, dan memanggil bayangan besar yang matanya memerah.

Di saat itulah teror hutan Serindang memuncak. Akar-akar dari bawah tanah mencengkeram kaki Gagah, berubah menjadi tangan gaib, menyeretnya ke arah barat—lokasi puing kecelakaan pesawat tua yang menjadi tumbal kutukan Kelan.

Bayangan Diri Sendiri dan Penebusan Dosa

Kelan menyatakan dengan kejam, "Pembuliy semacam kamu ini tak akan bisa kembali ke dunia nyata!" Ia kemudian memanggil sosok yang paling menakutkan: Gajah hitam legam bermata kosong, tubuh berlendir—Bayangan Gagah sendiri. "Itu tubuhmu yang akan diambil," tawa Kelan. "Bayanganmu sudah kupanggil. Begitu ia menyatu denganmu, kau akan jadi bagian dari malam untuk selamanya."

Dengan bantuan Rara yang memancarkan cahaya biru, Gagah berhasil melarikan diri dan berlindung di balik akar pohon beringin tua. Pohon itu adalah tempat roh-roh baik bersemayam, namun perlindungan itu memiliki harga: Rara terikat dan tak bisa keluar selamanya.

Meskipun Kelan menjerit marah karena sayapnya terbakar, ancaman kelelawar itu tetap menggema: "Aku akan kembali, Gagah! Tidak ada yang lolos dari malamku!"

Gagah berhasil lolos dari teror malam itu. Kisah ini berakhir dengan kesadaran penuh: Kita harus hati-hati dalam bersikap. Gagah akhirnya kembali ke kawanannya. Ia meminta maaf atas perbuatannya dan berjanji tak akan pernah lagi merundung. Gagah dan kawanannya kini hidup damai, jauh dari angkernya Hutan Serindang.

Profil Penulis:

Marhaen Wijayanto adalah penulis novel Mencari Jejak sang Depati, Roman Terlupakan, Kumpulan Puisi Hujan di Awal Desember, dan Kumpulan Cerpen Buku Tanpa Aksara. Saat ini ia tinggal di Mentok, Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung, dan bertugas di SD Negeri 7 Simpang Teritip.


Baca Juga
Baca Juga
Lebih baru Lebih lama